(0362) 21248
dinsos@bulelengkab.go.id
Dinas Sosial

KESEPIANKAH ANAK REMAJA KITA DI RUMAH ?

Admin dinsos | 01 Mei 2016 | 7034 kali

KESEPIANKAH ANAK REMAJA KITA DI RUMAH ?

Bapak psikologi remaja, G. Stanley Hall menyebut masa remaja ini adalah masa storm and stress, masa yang sulit dan menegangkan. Untuk sebagian remaja masa ini adalah yang sulit, karena mereka sudah mulai dihadapkan dengan tugas perkembangannya seperti tanggungjawab atau tuntutan dari lingkungannya. Menegangkan dan dapat menimbulkan tekanan karena pada masa ini juga mulai bermunculan konflik. Konflik muncul baik dari dalam diri sebagai proses pencarian diri dan lingkungannya. Willis (2004) menyebutkan pada masa remaja banyak terjadi masalah yang dihadapi dikarenakan tingkah laku remaja masih labil dan belum mampu menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan dari lingkungan. Remaja juga mulai mendapat nilai-nilai baru yang didapatnya selain dari keluarga seperti dari sekolah, teman sebaya dan lingkungan sosialnya. Dengan situasi seperti itu masa remaja adalah masa penuh dengan gejolak dan penuh dengan kebingungan karena adanya berbagai pengaruh.

REMAJA
Ada beberapa batasan usia remaja,menurut Hurlock (1981) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Seperti disebut sebelumnya, masa remaja ini sangat penting karena masa remaja adalah masa menuju kedewasaan. Jika dia berhasil melalui masa ini dengan baik, maka tantangan-tantangan di masa selanjutnya akan relatif mudah diatasi (Rajab, 2005). Dengan kata lain, remaja yang berhasil menghadapi tantangan di masa
remajanya sudah memiliki modal untuk masuk pada masa dewasanya dengan baik. Begitupun sebaliknya, bila dia gagal maka pada tahap perkembangan berikutnya besar kemungkinan akan terjadi masalah pada dirinya. Dengan demikian remaja perlu melakukan penyesuaian. Namun, remaja yang yang salah melakukan penyesuaian, akan melakukan tindakan atau perilaku yang tidak realistis bahkan cenderung melarikan diri daritanggung jawabnya (Latipun & Moeljono, 2001).Perilaku-perilaku tersebut diantaranya: mengkonsumsi minuman beralkohol, penyalahgunaan obat dan zat aditif. Berkaitan dengan pelepasan tanggung jawabnya, di kalangan remaja juga dijumpai banyak usaha bunuh diri, tingginya angka delinkuensi (kenakalan remaja). Remaja dalam situasi seperti ini sering menimbulkan masalah dan masalah yang ditimbulkan tidak saja terbatas dalam lingkungan keluarga tetapi juga sampai di tengah-tengah masyarakat luas.

Remaja dan Keterlibatan Permasalahan
Data yang mengejutkan dari KPAI untuk tahun 2014 jumlah anak-anak yang menjadi pelaku kekerasan naik 10 persen. (http: //health.detik.com/ read/2014/12/30/170045/2790328/ 763/komnas-pa-2014-jumlah-anak-yang-jadi-pelaku-kekerasan-naik-10-persen). Penelitian yang dilakukan pada tahun 2014 menyebutkan bahwa dari total 63 juta remaja di Indonesia, sebanyak 14,4 juta remaja Indonesia sudah pernah mengkonsumsi minuman keras (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/03/08/nkvsch-fahira-idris-144-juta-remaja-pernah-konsumsi-miras). Dengan kata lain ada 23 persen remaja Indonesia yang sudah berhubungan dengan minuman keras (miras) padahal pada tahun 2007, remaja yang terlibat miras sebanyak 4,9 persen, dengan demikian terjadi peningkatan remaja yang terlibat penggunaan miras. Data dari http://megapolitan.harianterbit.com/ megapol /2014/09/13/8219/18/18/22-Persen-Pengguna-Narkoba-Kalangan-Pelajar menyebutkan dari empat juta orang di Indonesia yang menyalahgunakan narkoba, 22 persen di antaranya adalah anak muda yang masih duduk di bangku sekolah dan universitas dan umumnya penggunanya berusia 15–20 tahun.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa (2015) menegaskan bahwa saat ini Indonesia sudah masuk darurat pornografi. Ini artinya jika Indonesia sudah darurat pornografi, maka perilaku seks bebas sudah sangat membahayakan remaja Indonesia karena penelitian menyebutkan ada hubungan yang signifikan antara sikap terhadap pornografi dengan perilaku seks bebas(Rachmah dalamhttp://univ45sby.ac.id/jurnal/index.php/psikologi/article/view/8/6).
Problem terhadap bagaimana berperilaku pada anak juga meningkat, dari stress ujian, kesulitan belajar, kesulitan fokus, gejala ADHD dan lain sebagainya. Walaupun belum ada data mengenai gejala stress and depresi pada anak di Indonesia, namun kasus bunuh diri yang berkembang pada anak dan remaja adalah gambaran mengenai berkembangnya persoalan psikologis pada anak dan remaja di Indonesia. Page (2006) memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara perilaku bunuh diri dan kesepian pada remaja.

Kesepian
Peplau dan Perlman dalam Byrne dan Baron ( 2005 ) mendefinisikan kesepian sebagai suatu keinginan yang tidak terpenuhi untuk membangun hubungan interpersonal yang akrab. Menurut Sears dkk ( 1994 ) kesepian menunjuk pada kegelisahan subyektif yang dirasakan pada saat hubungan seseorang kehilangan ciri-ciri pentingnya. Hilangnya ciri-ciri tersebut bersifat kuantitatif yaitu tidak mempunyai teman atau hanya mempunyai sedikit teman seperti yang diinginkan. Kekurangan itu dapat bersifat kualitatif yaitu seseorang mungkin merasa bahwa hubungan sosialnya dangkal atau kurang memuaskan dibandingkan dengan apa yang diharapkan.

Kesepian tidak selalu sedang sendiri
Alone is not lonely. Alone berarti sendirian tapi lonely dapat diterjemahkan merasa sendiri atau kesepian.Weiss (dalam Rotenberg, 1999) mendefinisikan kesepian sebagai suatu kondisi emosional negatif dan orang yang kesepian biasanya merasa sendirian walaupun berada di tengah-tengah kerumunan ataupun keramaian. Dalam Nurmina (2008) ada beberapa aspek kesepian, dengan :
- Indikator emosi, yaitu : kehadiran rasa sakit secara emosional berupa rasa sedih dan bosan
- Indikator kognitif, yaitu : munculnya persepsi bahwa hubungan sosialnya tidak sesuai dengan yang
diharapkan
- Indikator interpersonal bahwa ia mengalami keterpisahan fisik dan psikologis dengan orang lain.

Kesepian Pada Remaja
Masa remaja adalah masa yang sangat rentan terhadap kesepian ( Brennan dalam Baron & Byrne, 2005 ; Myers, 1990 ). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Parlee dalam Sears ( 1994 ) memperlihatkan bahwa kesepian yang tertinggi terjadi di antara para remaja. Kesepian yang terjadi pada remaja lebih disebabkan karena remaja tengah mengalami proses perkembangan yang kompleks. Perkembangan yang meningkatkan perasaan terisolasi, kebutuhan akan individu lain dan kecemasan terhadap masa depannya ( Brennan dalam Adi, 2000). Sullivan dalam Santrock ( 2002 ) mengatakan bahwa jika remaja gagal untuk membentuk persahabatan yang akrab, mereka akan mengalami perasaan kesepian diikuti dengan rasa harga diri yang menurun. Remaja yang kesepian mempunyai sedikit teman karena merasa ditolak sehingga memilih untuk tidak bergabung dengan teman-teman sebayanya (Fuhrmann, 1990). Sependapat dengan hal ini, Zimbardo (dalam Fuhrmann,1990) mengatakan bahwa remaja yang kesepian cenderung pemalu sehingga lebih suka sendiri dan ragu-ragu dalam menjalin hubungan sosial. Goswick (dalam Fuhrmann, 1990) mengatakan bahwa kesepian pada remaja berhubungan dengan adanya perasaan inferior yang dimiliki remaja dan tidak adanya penerimaan sosial dan fasilitas sosial. Ia juga menambahkan bahwa, sebenarnya kesepian merupakan hal yang wajar bagi remaja, hanya saja mereka seringkali memperburuk keadaan tersebut dengan perasaan dan pikiran subyektif mereka yang negatif.
Kesepian berdampak terhadap kesehatan psikologis dan rasa tidak nyaman pada remaja (Corsano, 2006, Cohen, dkk, 2005, Hardie, 2007). Perasaan bosan, sedih, malas & takut ditinggal adalah contoh kesehatan psikologis remaja yang tergganggu.Jika ada anggapan lansia yang sering merasa kesepian maka kita perlu melihat hasil penelitian yang berikut ini.Tingkat kesepian paling tinggi ternyata ada pada masa remaja (Santrock, 2005 ; Rice, 2002). Ini didukung pula penelitian yang dilakukan Parlee (dalam Sears, dkk) menyebutkan 79 % individu yang berusia dibawah 18 tahun merasa kesepian, yang merasa kesepian usia 45 – 54 tahun sebanyak 53% dan yang merasa kesepian diatas usia 55 tahun hanya 37 %.
Tingginya angka remaja kesepian ini dapat dijelaskan karena pada masa remaja, seseorang memiliki kebutuhan tinggi untuk berhubungan dekat namun kurang memiliki ketrampilan sosial yang cukup untuk membentuk hubungan sosial yang matang dan dapat memenuhi kehidupannya (Nurmina, 2008). Dengan kata lain, jika kebutuhan untuk berhubungan dekat sangat diperlukan namun remaja tidak mendapatkannya dari lingkungannya atau remaja tersebut tidak mampu melakukan penyesuaian maka terjadilah kesepian.

Remaja kesepian dan internet
Agar anak betah di rumah dan tidak merasa kesepian terkadang kita pun memfasilitasinya dengan internet. Namun berhati-hatilah, penelitian menyebutkan tingginya kesepian emosional ditemukan pada individu yang kecanduan internet (Hardie, 2007). Kesepian emosional oleh Weiss (dalam Rotenberg, 1999) digambarkan sebagai perasaan kehilangan orang terdekat. Ini seperti yang terjadi pada seseorang yang takut ditinggal oleh orangtuanya, ada perasaan cemas, kosong dan merasa terasing. Terkait fasilitas internet kiranya perlu dilakukan pendampingan dan edukasi sehingga anak juga dapat memilah mana content yang tepat untuknya. Games digital sekarang ini pun sudah disusupi oleh pornografi. Mengusir kesepian pada anak dengan membiarkannya bermain games terlalu lama dan mengandung unsur kekerasan pun akan membahayakannya. Tidak hanya buruk untuk kesehatan fisiknya juga akibat terpapar games mengandung kekerasan pun akan membuat anak permisif dengan kekerasan dan berperilaku agresif, membuat anak menganggap memukul, menendang atau perilaku agresif lainnya adalah hal yang biasa.

Orangtua berpeluang menimbulkan rasa kesepian pada anak
Atas nama profesioanalisme, mencari nafkah untuk anak, seringkali anak menjadi terabaikan. Berangkat subuh pulang malam semua memang dilakukan untuk anak. Semua kebutuhan anak dicukupi. Sekolah mahal, pengasuh di rumah, fasilitas gadget dari jenis apapun ada.Tapi pernahkah kita berpikir tentang kebutuhan psikologisnya? Rasa kecewa muncul jika yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Adakah kita ada mendampinginya saat ia merasa sedih, kecewa karena ia sedang perlu teman.
Ada kata sederhana untuk memenuhi kebutuhan psikologis anak/remaja kita : being there. Selalu ada ketika ia butuhkan, baik langsung ataupun tidak langsung, meskipun kita sangat sibuk. Itu lebih penting dan membahagiakan para remaja itu. Tidak pula mengeluarkan kalimat klasik : yang penting kualitas bukan kuantitas. Kualitas pun akan mudah dilupakan jika intensitas kebersamaan dengan anak anak jarang sekali dilakukan.
Sebagai ayah/ibu/nenek/kakek/paman/ibu pernahkah kita berpikir, di waktu yang sama kita sedang bekerja atau sedang melakukan kegiatan apapun, diwaktu yang sama pula anak/remaja kita itu sedang merindukan kita. Ternyata di detik-detik itu ia sedang butuh orang
yang tidak hanya sekedar mendengar keluh kesahnya, sejenak menyediakan bahu kita untuknya bersandar atau memeluknya karena ternyata ia sedang perlu menumpahkan airmatanya. Jangan biarkan detik-detik ia sedang memerlukan kita dan ‘sedang merasa sendiri’ jadi berakhir dengan tragis. Ada banyak hal yang dapat kita lakukan dan being there with them. Faktor Perceraian Orang Tua Salah satu faktor utama yang mempengaruhi perkembangan sosial anak adalah faktor ketidakutuhan keluarga meliputi perceraian dan kematian salah satu orangtua. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa remaja dibawah pengasuhan orangtua tunggal lebih banyak mempunyai masalah psikososial dibanding remaja dengan orangtua lengkap. Studi yang dilakukan oleh Wallerstein dan McLanahan menemukan bahwa remaja korban perceraian dan single parent lebih rentan untuk melakukan kekerasan, penyalahgunaan obat-obat terlarang, bunuh diri, drop out dari sekolah, menjadi pengangguran, melakukan seks pranikah, dan mengalami perceraian didalam kehidupan pernikahannya kelak (Khisbiyah, 1994). Mereka juga sering merasa tidak bahagia dan kesepian, mempunyai ketidakstabilan emosi (Khisbiyah, 1994). Longfellow dalam Sears (1985) mulai berusaha memahami berbagai pengaruh perceraian terhadap anak. Salah satu kemungkinannya adalah bahwa anak akibat perceraian bisa menjadi lebih peka terhadap kesepian ketika mereka menginjak kedewasaan. Kesepian yang terjadi pada remaja lebih disebabkan karena remaja tengah mengalami proses perkembangan yang kompleks. Perkembangan yang meningkatkan perasaan terisolasi, kebutuhan akan individu lain dan kecemasan terhadap masa depannya (Brennan dalam Adi, 2000). Akibat remaja kehilangan tempat berpegang untuk mencurahkan perasaannya, mereka sering merasa tidak bahagia dan kesepian karena tidak adanya kepuasan dalam hal berkomunikasi dengan orangtuanya. Hal yang diungkapkan diatas berkaitan dengan kualitas komunikasi pada remaja dengan orangtua tunggal, dimana remaja yang komunikasinya dengan orangtua tunggal rendah atau tidak berkualitas akan cenderung mengalami kesepian karena remaja menganggap bahwa dirinya tidak dimengerti dan dipahami oleh orangtuanya dan merasa orangtua tidak menyayangi mereka dan cenderung mengkompensasikannya melalui tindakan yang agresif, frustasi dan kesepian (Istyarini, 2001).
Kesepian pada Remaja dan Kecenderungan Permasalahan yang ditimbulkan Kesepian dan sifat anti sosial Aplikasi dan perwujudan dari terasing adalah kesepian. Jika seseorang sudah merasa diasingkan maka orang tersebut akan mengalami kesepian dalam diri dan lingkunga sehingga merasa sepia tau kesepian. Jika hal ini terus dibiarkan maka orang tersebut akan kehilangan unsur dan karakter unik dalam dirinya senhingga dia pun sulit untuk mengenali dirinya. Bila ini tidak segera diatasi akan berdampak buruk pada diri remaja tersebut. Sehingga para remaja ini memustuskan untuk menyendiri dan tidak berinteraksi kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya yang dalam jangka waktu kedepannya akan mengakibatkan para remaja ini menjadi ansos (anti sosial). Contohnya adalah ketika seorang remaja yang dianggap mempunyai kelakuan atau sikap yang aneh, otomatis ia akan dijauhi oleh teman-temannya, dan pada saat itulah remaja tersebut merasa terasingkan dan membuatnya merasa kesepian sehingga akibatnya ia menjadi ansos (anti sosial) karena ia merasa takut dengan dunia luar, rasa takut disini maksudnya adalah takut bertemu orang-orang yang menjauhinya dan takut tidak bisa diterima oleh orang-orang.

Remaja Kesepian Dan Potensi Timbulnya Penyakit
Selain itu, dari sudut pandang psikologis, orang yang kesepian cenderung melihat dunia sebagai tempat yang mengancam dirinya. Akibatnya, mereka yang terisolasi secara sosial kebanyakan menderita penyakit yang berujung pada kematian, seperti kanker dan jantung. Cole menyarankan bagi mereka yang merasa kesepian karena ditinggal orang terkasih, atau baru pindah ke tempat baru dan belum mengenal banyak orang, berilah tenggat untuk mengusir rasa sepi itu maksimal selama enam bulan.
Supaya tidak dilanda rasa kesepian, selama periode itu bangunlah pergaulan dan melihat dunia dari sisi positif. Menurut Profesor Dadang, seringkali rasa sepi diperparah oleh pilihan pribadi alias bunuh diri. "Karena kesepian enggak tahu apa yang harus dilakukan dalam hidup, lalu pilih mati saja," katanya. Menurut Hawari, fenomena semacam ini lazim terdapat di kota-kota besar. "Bedanya, kalau di Barat mereka mayoritas pilih main Binggo, kalau di Indonesia lebih cenderung mengisi kesepian dengan ibadah," katanya.

FAKTOR ORANG TUA TERHADAP TIMBULNYA KESEPIAN DALAM DIRI REMAJA
Tidak menjalin komunikasi yang harmonis dengan remaja
Komunikasi adalah alat penting dalam berinteraksi dengan sesama manusia, termasuk dengan buah hati kita. Namun sayangnya, tidak sedikit orangtua yang tidak bisa menjalin komunikasi yang baik dengan anak-anaknya. Karena alasan sama-sama sibuk maka sulit berkomunikasi. Padahal dengan komunikasi yang seh at antara orangtua dan anak bisa memagari anak dari perilaku yang tidak baik. Ketika anak kita menginjak usia remaja, banyak hal baru yang akan dialaminya. Sehingga mereka mudah galau dan memerlukan tempat untuk curhat. Apa jadinya jika komunikasi remaja dengan orangtuanya tersumbat. Mereka akan mencari tempat curhat yang lain. Kalau mereka menemukan sosok yang baik selain orangtuanya tidak jadi masalah, tapi jika menemukan sosok yang tidak baik bisa fatal akibatnya.
Ada contoh kasus, seorang remaja yang merasa kesepian di rumah. Kemudian ia mencari obat kesepian dengan nongkrong bersama teman-temannya. Kehadirannya disambut hangat oleh seorang gembong narkoba. Anak itu mendapatkan apa yang dicarinya, persahabatan, tempat curhat, dan perhatian yang semua itu tidak didapatnya di rumah. Singkat cerita, anak itu pun menjadi pecandu narkoba dan sekaligus pengedar narkoba. Masa mudanya hancur karena berawal dari masalah komunikasi.

Orangtua tidak berhasil membuang sampah dalam dirinya
Tekanan pekerjaan, beban hidup yang semakin berat, dan letih menyebabkan kita menyimpan emosi yang siap meledak. Emosi itu adalah sampah dalam diri kita. Alangkah bahayanya jika kita membawa sampah itu ketika berinteraksi dengan buah hati. Kita menjadi mudah terpancing emosi dengan hal-hal sepele di hadapan anak kita. Bisa jadi anak-anak kita-lah tempat membuang sampah dalam diri kita. Mereka menjadi luapan emosi kita.
Apa yang mereka rasakan jika terus menerus menjadi tempat sampah orangtuanya? Marah, benci, merasa direndahkan, dendam, dan masih banyak lagi rasa yang bersemanyam dalam hati anak-anak itu. Rasa-rasa itulah yang mengantarkan anak remaja kita menjadi sosok yang bengal dan susah diatur.
Orangtua tidak berempati pada anak remajanya
Sekali lagi bahwa anak remaja kita akan mengalami banyak hal baru yang menyebabkan mereka kebingungan dengan diri sendiri. Acapkali ora ngtua tidak mau tahu dengan ketidak nyamanan anaknya. Sehingga anak-anak itu mencari solusi sendiri dengan resiko melangkah di luar rel kebenaran. Orang tua juga haus akan prestasi anak. Banyak orangtua yang merasa sangat bahagia ketika anak-anaknya mendapat prestasi, terutama prestasi akademik, sehingga orangtua menekan anak-anaknya untuk meraih prestasi gemilang. Anak-anak dipaksa untuk mengikuti berbagai les agar meraih prestasi. Hidup di bawah tekanan sangatlah tidak nyaman. Begitu pun dengan anak remaja kita. Jadilah mereka tidak nyaman dan kesepian, akhirnya mereka berlari dari tekanan itu kepada hal-hal negatif misalnya narkoba, berselancar di internet, menikmati pornografi, dan lain sebagainya.
*) Penulis adalah Widyaiswara pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan kesejahteraan Sosial – Kementerian Sosial RI

Daftar Pustaka
Adi, R. MC. 2000. Perbedaan Tingkat Kesepian pada Remaja di tinjau dari Status Pacaran. Skripsi ( tidak diterbitkan ). Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada
Baron, R.A. & Byrne, D. 2005. Psikologi Sosial. Jakarta : Erlangga ( Alih Bahasa : Ratna Djuwita ).
Cohen,S., Pressman, S.D., Miller, G.E., Barkin, A., Rabin, B.S., & Treanor, J.J. (2005). Loneliness, network size, and immune response to influenza vaccination in college freshman.Health Psychology, 24(3), 297-306
Corsano, P., Majorano, M., & Champretavy, L. (2006). Psychological well-being in adolescence : the contribution of interpersonal relations and experience of being alone. Adolescence, 41: 341-352
Fuhrmann, B.S. 1990. Adolescence Adolescent ( Second Edition ). London : Brown Higher Education Glenview
Hardie, E., (2007). Excessive internet use.The Role of Personality.Australian Journal of Emerging Technologies and society, 5(1), 34-47.
Hawari, D. 1999. Al Quran : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Dana Bhakti Primayasa
Hurlock, E.B. (1991). Psikolgi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Terjemahan oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo). Jakarta : Penerbit Erlangga.
Mongks, F. J. , Knoers, A. M. P. , & Haditono, S. R. (2000). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nurmina.(2008). Peran persahabatan dan harga diri terhadap kesepian pada remaja.Tesis (tidak diterbitkan).Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.
Page, R.M. (2006).Hopelessness & loneliness among suicide attempters in school-based samples of Taiwanese, Philipine & Thai adolescents.School Psychology International, 7.583-596.
Rice (2002)The adolescent : development, relationship and culture.Boston : Allen & Boscon.
Rotenberg, K.J. (1999). Loneliness n childhood and adolescence. Cambridge,UK : Cambridge University Press
Santrock, (2005).Adolescence.Seventh edition. New York : Mc. Graw-Hill.
Sears, D.O., Freedman, J.L., & Peplau, L. A. (1985).Psikologi sosial (terjemahan).Jakarta : Erlangga.
Rajab, B. 2005.Artikel sebuah Renungan Kemerdekaan; Sudah Pedulikah Kita? Sumber: Harian Republika Jakarta. Minggu 14 Agustus 2005.
Santrock, J.W. 2002. Adolescence, Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga (Alih Bahasa : Shinto B. Adelar).
Willis, S.S., 2004. Remaja dan Masalahnya.Bandung : CV. Alvabeta
http://health.detik.com/read/2014/12/30/170045/2790328/763/komnas-pa-2014-jumlah-anak-yang-jadi-pelaku-kekerasan-naik-10-persendiunduh 18 Juni 2015
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/03/08/nkvsch-fahira-idris-144-juta-remaja-pernah-konsumsi-miras, diunduh tanggal 18 Juni 2015
http://megapolitan.harianterbit.com/megapol/2014/09/13/8219/18/18/22-Persen-Pengguna-Narkoba-Kalangan-Pelajardiunduh tanggal 18 Juni 2015
http://univ45sby.ac.id/jurnal/index.php/psikologi/article/view/8/6