Para pengungsi Gunung Agung tak betah duduk berpangku tangan. Mereka kini mengisi waktu luang dengan membuat beberapa perlengkapan upakara. Salah satunya membuat porosan. Meski pendapatannya tak seberapa, namun aktifitas itu dianggap lebih baik ketimbang duduk termangu di lokasi pengungsi. Sejak beberapa hari terakhir, beberapa pengungsi mulai menyibukkan diri dengan berbagai aktifitas. Khusus kaum hawa, mereka kini menyibukkan diri dengan membuat perlengkapan upakara.
Seperti yang terlihat di Desa Tembok. Sejumlah pengungsi asal Desa Dukuh membuat sarana upakara berupa tamas dan porosan. Buah kerajinan tangan itu akan dijual ke pengepul dengan harga relatif murah, yakni Rp 5 ribu untuk satu keresek.
Salah seorang pengungsi, Luh Sari, mengaku melakukan aktifitas itu untuk mengisi waktu senggang. Sehari-hari saat belum mengungsi, ia banyak melakukan aktifitas rumah tangga.Kini di pengungsian praktis ia hanya memasak dan membersihkan lokasi tidurnya. Setelah itu tak ada aktifitas lagi.“Sekarang biar ada kegiatan buat tamas dan porosan ini saja. Biar ada saja kegiatan. Daripada bengong saja terus di pengungsian, pikiran malah jadi beban,” kata Luh Sari.
Perbekel Tembok Dewa Komang Yudi Astara mengatakan, hingga kini jumlah pengungsi di Desa Tembok diperkirakan mencapai 2.700 jiwa. Jumlah itu masih terbilang minim, jika dibandingkan saat gelombang pengungsian pertama. Saat itu desa menerima tak kurang dari 7.000 orang pengungsi.
“Kami siap menerima sampai 7.000 jiwa pengungsi. Selama pengungsi bersikap kooperatif dan sama-sama ikut menjaga kenyamanan, keamanan, dan ketertiban di desa kami, tentu kami sangat welcome dan siap menampung,” tegas Yudi.
Hingga kemarin, jumlah pengungsi di Kabupaten Buleleng mencapai 10.759 jiwa. Sebagian besar pengungsi ada di Kecamatan Tejakula, dengan total 8.751 jiwa pengungsi.