(0362) 21248
dinsos@bulelengkab.go.id
Dinas Sosial

Meretas Ketertinggalan, Merenda Asa Suku Anak Dalam Jambi

Admin dinsos | 15 Maret 2017 | 2897 kali

Meretas Ketertinggalan, Merenda Asa Suku Anak Dalam Jambi

Oleh : Citra Banch Saldy*

MELANGUN bagi suku Kubu, Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) yang menetap di perbatasan Provinsi Riau dan Jambi adalah pergi jauh. Melangkahkan kaki menjauh ratusan kilometer, berkelana dan tinggal di bagian hutan yang lain.

Tradisi ini wajib diikuti seluruh keluarga yang tertimpa kemalangan.Bukan satu atau dua hari, tidak sedikit ada yang mencapai hitungan tahun.Dengan melangun, Anak Dalam berharap bisa melupakan kesedihan, buang sial, menghindari kutukan dan penyebaran wabah setelah ada sanak saudara yang meninggal.

Namun, siapa nyana tradisi ini justru menjadikan mereka hidup "tertinggal".Belum lagi fakta bahwa hutan pedalaman Jambi tempat mereka menggantungkan hidup dari kemurahan semesta semakin rusak akibat konversi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.

"Cari babi hutan sekarang semakin susah.Lebih sering tidak dapat meskipun sudah jalan berhari-hari," ungkap Permai (26) salah satu Suku Anak Dalam di Kabupaten Sarolangun, Jambi baru-baru ini.

Tidak cuma babi hutan yang semakin susah, binatang lain seperti Kera, Ular, Labi-labi, Rusa, Kijang dan berbagai jenis unggas seperti menghilang di telan bumi. Padahal dulu, kata dia, binatang-binatang liar tersebut sangat mudah ditemui.

Permai menceritakan, jika sedang beruntung ia dan kelompoknya bisa memperoleh satu ekor babi hutan seberat 30 - 40 kilogram. Oleh dia, kepala dan isi perut diambil untuk makan, sementara dagingnya dijual Rp6000 per kilogram.Hasil penjualan tersebut digunakan untuk membeli beras, minyak, dan garam.

"Kalau tidak dapat ya terpaksa berhutang ke tetangga sambil terus berburu.Nanti kalau sudah dapat baru dilunasi," ujarnya.

Menurut Permai, ia dan kelompoknya tidak memiliki kecakapan lain selain berburu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tradisi ini terus turun menurun sejak dulu.Alhasil, kemiskinan yang membelenggu mereka pun ibarat "warisan" nenek moyang.

Cerita Permai sebelas duabelas dengan cerita Sitam. Bapak tiga orang anak ini mengatakan jika kehidupan suku anak dalam makin tahun makin susah. Tidak seperti dulu, kondisi hutan yang ada di Jambi semakin rusak.Tidak cuma berakibat pada hilangnya sumber makanan, namun juga rusaknya tatanan hidup mereka.

"Tadinya kelompok besar, lama-lama terpencar jadi kelompok-kelompok kecil.Kami tinggal di hutan, tidak punya tanah sendiri," tuturnya.

Sitam mengatakan, hutan di Jambi sebagian besar telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.Dulu, selain berburu binatang liar mereka juga mencari rotan, manau, jernang, madu, buah-buahan, dan umbi-umbian.Kini sangat sulit mendapatkan kemurahan semesta itu secara cuma-cuma.

Bangunkan Hunian Tetap untuk SAD

Apa yang dialami Suku Anak Dalam menjadi perhatian Pemerintah Pusat. Sejak 2014, Pemerintah melalui Kementerian Sosial terus berupaya melakukan pendekatan kepada Suku Anak Dalam.Ajakan untuk tinggal menetap adalah poin utama.

Harapannya, setelah menetap Pemerintah bisa melakukan intervensi kesejahteraan melalui berbagai program pengentasan kemiskinan. Antara lain, Program Keluarga Harapan (PKH), beras sejahtera (Rastra), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan lain-lain.

"Harus bertahap, tidak bisa dilakukan secara sporadis. Tahap pertama adalah bangunkan hunian tetap, setelah itu proses registrasi kependudukan. Baru setelah terdaftar intervensi dimulai," ungkap Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa.

Khofifah mengatakan, tahap awal Kementerian Sosial telah membangunkan hunian tetap sebanyak 23 unit untuk 23 kepala keluarga di Desa Pulau Lintang, Kecamatan Bathin VIII,  Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Seluruh unit rumah telah diserahkan Februari lalu.

Ia menerangkan, lahan tempat pembangunan rumah disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Sarolangun. Sementara unit rumah berserta isi menjadi domain Kementerian Sosial.

Kementerian Sosial mengalokasikan anggaran Rp36 juta untuk membangun setiap unit rumah.Sementara isi perabotan berupa kasur, bantal, dan selimut Rp3 juta per kepala keluarga.Pendanaan seluruhnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Alhamdulillah akhirnya mereka mau.Tidak mudah, karena butuh ketelatenan dan kesabaran saat melakukan pendekatan guna mengajak mereka tidak hidup nomaden," tuturnya.

Menurutnya, apa yang dilakukan Kemensos merupakan upaya mewujudkan kehidupan warga Suku Anak Dalam lebih sejahtera dan mandiri, baik dari aspek kehidupan maupun penghidupan, sehingga mereka mampu menanggapi perubahan sosial yang terjadi.

Tidak cuma soal pemukiman, kata Khofifah, namun juga administrasi kependudukan, kesehatan, pendidikan, kehidupan beragama, penyediaan akses kesempatan kerja, ketahanan pangan, penyediaan akses lahan, advokasi sosial, lingkungan hidup dan pelayanan sosial.

SAD : Kehidupan Kami Jauh Lebih Baik

Hunian tetap yang dibangun Kementerian Sosial pun disambut positif warga SAD.Meskipun hanya bangunan semi permanen, namun kehidupan mereka dianggap jauh lebih baik ketimbang saat hidup nomaden.

Sitam bercerita, sebelum menetap Ia bersama sang istri, Bala (20) dan tiga orang anaknya Aisah (4), Abraham (2), dan Ram (4 bulan) tinggal di rumah yang dibuat seadanya. Setiap malam mereka harus menahan dinginnya angin dan gigitan nyamuk.Belum lagi jika hujan deras menerjang rumahnya tersebut.

"Saya betah, istri dan anak-anak juga senang.Saya mau menata hidup lebih baik lagi," tuturnya.

Hal senada disampaikan Permai (26), warga Suku Anak Dalam yang juga memilih menetap di hunian yang disediakan Kementerian Sosial.Ia berharap kehidupannya bersama sang istri, Putri (23) dan dua orang anaknya Nathail (3) dan Joshua (3 bulan) jauh lebih sejahtera setelah mereka memutuskan menetap di Desa Pulau Lintang tersebut.

Permai mengatakan, selama ini Ia dan keluarganya tinggal berpindah-pindah. Rumah yang dibuatnya pun jauh dari kata layak karena hanya memiliki satu ruangan tanpa kamar.Semua aktivitas rumah tangga dilakukan disana.

Karena letaknya ditengah hutan mereka pun kesulitan mengakses layanan kesehatan jika sedang sakit.

"Semuanya ngumpul di satu ruangan.Atap dan dindingnya pun seadanya.Nyamuk banyak sekali kalau malam," imbuhnya.

Menurutnya, pilihannya untuk menetap karena ingin membuat kehidupan keluarganya jauh lebih baik lagi. Saat ini ia dan warga Suku Anak Dalam tengah belajar bercocok tanam agar tidak lagi mengandalkan berburu binatang liar di hutan.

Sementara itu, Wakil Gubernur Jambi H Fachrori Umar menyatakan Pemerintah Pusat bersama Pemprov Jambi terus berupaya menekan angka kemiskinan dengan berbagai macam program pembangunan.Salah satu sasaran program pemerintah saat ini adalah meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat terpencil yaitu orang rimba atau SAD.

"SAD ini hidupnya berpindah-pindah, bahkan pendatang dari daerah lain juga ada, keberadaanya sangat sulit dipantau. Usaha kita bagai mana mereka bisa hidup menetap dan bermasyarakat sama dengan warga lainnya," imbuhnya.

Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Hartono Laras mengatakan SAD di Kabupaten Merangin merupakan bagian dari 2.271 jiwa yang tersebar di delapan kabupaten di Provinsi Jambi. Dikatakan, meskipun mereka berada di lokasi yang terpencil dan memiliki keterbatasan akses layanan, namun mereka adalah bagian dari warga negara Indonesia yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya. (***) 

* Penulis adalah Tenaga Humas Pemerintah di Kementerian Sosial RI