Di dua ruang besar yang dipisahkan lorong, tampak bayi-bayi yang tergolek tenang, tetapi ada juga yang sedang unjuk kemampuan tarik suaranya dengan menangis. Di lantai III panti asuhan Bayi Sehat-Bandung ini, bayi-bayi terlantar ditempatkan. Ruang sebelah kiri terasa lebih ramai daripada sebelah kanan. Mungkin karena dihuni oleh bayi-bayi yang merasakan kesegaran setelah dimandikan.
Di ruang sebelah kanan, tampak bayi-bayi merah yang lebih tenang. Ada yang tidur, ada yang bermain dengan teman seboksnya, dan ada juga yang sedang memainkan jari-jari tangan. Di dekat boks berwarna kuning, ada seorang ibu muda yang sedang menimang-nimang bayi yang diinginkannya. Sang suami ikut bermain dengan bayi yang digendong istrinya. "Ini bayi yang kita mau untuk dijadikan anak asuh, kita memilihnya karena ia mirip istri saya", ungkap calon ayah bayi ini. Di sudut ruang lainnya, ada sepasang suami-istri yang berumur setengah baya sedang bermain-main dengan calon anak asuhnya.
Untuk menjadi orang tua asuh tidak semudah yang diperkirakan. Calon orang tua asuh harus melakukan pendekatan dengan sering melakukan kunjungan agar terjadi kontak batin yang tulus antara orang tua dan bayi. Biasanya, mereka yang tertarik untuk menjadi orang tua asuh adalah pasangan yang belum dikaruniai anak.
Suara tangis tiga orang bayi yang saling bersautan terdengar dari ruang sebelah kiri lantai III ini. Ternyata, mereka sedang menunggu giliran untuk mandi sore. Mungkin karena kesal menunggu giliran, bayi-bayi itu menangis sekuat tenaga.
Seorang gadis berkerudung dengan memakai kaos warna merah terlihat cekatan memandikan bayi-bayi itu satu per satu. Air untuk memandikan bayi-bayi itu ada di boks pemandian yang didekatkan dengan tempat tidur bayi sehingga ia tidak banyak mengeluarkan energi untuk berjalan ke sana-ke mari.
Di ruang ini, juga tidak sepi pengunjung. Seorang laki-laki muda sedang mengambil gambar istrinya bersama dengan calon buah hatinya dengan handycam. Mereka terlihat asyik bermain tanpa memedulikan kebisingan suara tangis di sekitarnya.
Ternyata, pengunjung tidak terbatas pada pasangan suami-istri. Beberapa gadis berusia tidak lebih dari tiga puluh tahunan dengan senangnya bercanda-ria di beberapa boks bayi. Tidak lama kemudian, muncul serombongan pelajar dengan membawa bingkisan memadati dua ruang itu. Satu dari sekian pengunjung adalah Euis Latifah. Gadis berusia 21 tahun ini awalnya hanya diajak temannya yang sudah beberapa kali berkunjung ke panti ini. Kunjungan pertamanya ini membawa kesan tersendiri. Ia senang dan merasa terhibur melihat bayi-bayi yang lucu. "Rasanya senang melihat anak kecil banyak", ungkap gadis bungsu ini. Dengan melihat keceriaan bayi-bayi, kerinduan akan hadirnya seorang adik dalam hidupnya terobati.
Tak terbayangkan olehnya jika ia yang mengalami nasib seperti bayi-bayi disini. Karena di balik keceriaan bayi-bayi ini, tersimpan luka saat mereka menanyakan siap orang tuanya. Luka itu juga dirasakan Euis. Ia bersyukur mempunyai seorang ibu yang sangat menyayangi dirinya. Gadis yang berstatus mahasiswa IAIN ini cukup menyalahkan para orang tua yang tidak bertanggung jawab terhadap anaknya. �Seharusnya jika tidak mau mengasihi mereka, sebaiknya jangan punya anak,� kata wanita berkerudung ini dengan kesal. Walaupun kondisi keluarga serba kekurangan, tetapi bagi gadis lajang ini, anak adalah belahan jiwa yang harus dijaga. Kunjungan Euis yang pertama kali ini bukan untuk yang terakhir kali. Walaupun kondisinya belum memungkinkan untuk mengasuh salah satu bayi di panti ini, tetapi dengan belaian kasih sayangnya semoga bayi-bayi mungil ini tahu bahwa masih ada yang peduli dengannya.
Kita harus menemukan cinta kasih di dalam diri sebelum dapat mengasihi dengan tulus kepada lainnya (Anonim)
Beban mengurus bayi-bayi seperti tidak begitu dirasa Nurlella. Setelah selesai memandikan bayi-bayi dan memberi mereka susu sebagai pengobat lapar, gadis berusia 23 tahun ini duduk dengan memangku satu batita (bawah tiga tahun) yang mengalami gangguan perkembangan mental. Kepada kami, gadis lajang asal Bandung ini menuturkan suka-dukanya mengurus anak-anak yatim piatu.
Sekitar tiga tahun Ella-panggilan akrabnya- menjadi pengasuh di lantai III bersama lima temannya. Ajakan saudaranya untuk membantu tugas di panti asuhan ini ditanggapinya dengan tidak serius. Awalnya, ia diperbantukan untuk sementara waktu. Namun, setelah tugas sementaranya berakhir, gadis lajang ini merasakan ada sesuatu yang hilang. Ia merindukan suasana panti. Karena pihak panti masih membutuhkan pengasuh, akhirnya Ella memutuskan untuk kembali ke panti ini.
Ella yang merupakan anak kedua dari enam bersaudara ini tidak kaku lagi menangani bayi lebih dari satu sekaligus karena ia sudah terbiasa mengfurus adik-adiknya di rumah. Layaknya orang tua, bangun malam akibat rengekan bayi yang lapar dan minta digendong tidak menjadi beban baginya. Kala bayi-bayinya sakit, Ella sedih, sebaliknya saat mereka senang dan sehat, Ella pun merasa gembira.
Dengan jumlah bayi sebanyak 19 orang dan pengasuh 6 orang, Ella dan teman-temannya sudah saling mengerti tugas masingn-masing, tidak perlu dibagi-bagi. Siapa yang punya waktu, secara otomatis mereka tergerak untuk menolong si bayi. Menurut gadis yang dipanggil �mamah� atau �teteh� oleh anak asuhnya, lebih mudah menangani bayi yang belum tahu gendongan karena dengan sebotol susu mereka biasanya bisa terdiam dari tangisnya. Berbeda dengan bayi yang sudah tahu nikmatnya digendong, terkadang bayi-bayi tersebut lebih merepotkan Ella dan teman-temannya karena harus menimang-nimang agar tangis mereka reda.
Ella seperti ibu singgahan bagi bayi-bayi usia 0-2 tahun yang terlantar dari rumah sakit. Setelah ada sepasang suami-istri mendambakan salah satu bayi asuhannya maka dengan rela ia harus melepas asuhan bayi itu ke orang lain. Ada perasaan sedih sekaligus senang saat bayinya harus pindah ke pangkuan orang lain. Sedihnya karena selama dalam asuhannya sudah ada hubungan batin yang sulit untuk dipisahkan. Senangnya karena bayi tersebut akan mendapat perhatian dan curahan kasih sayang yang lebih banyak daripada jika bayi tersebut tetap di panti. Di panti, perhatian terbagi dengan teman-temannya. Gadis yang pernah kursus baby sitter ini juga senang karena kesempatan anak asuhnya untuk mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya bertambah besar.
Kepada anak-anak asuhnya, ia berharap mereka menjadi �orang�. Jika sudah berhasil, tidak perlu untuk mengingat jasa-jasanya. "Jika mampu lebih baik menyantuni adik-adiknya", katanya dengan arif. Sekarang, bayi-bayi ini membutuhkan uluran tangan para dermawan, nantinya mereka harus jadi dermawan juga. Di panti ini hampir tidak pernah sepi oleh pengunjung, baik untuk menyumbang maupun hanya sekedar mencari hiburan. "Ada remaja yang bolos sekolah gara-gara ingin mengunjungi panti, bagi mereka daripada bolos sekolah untuk main ke BIP (mall di Bandung) mendingan ke panti", ujar gadis berkulit putih ini dengan tertawa. Tanpa diminta, para dermawan membawa susu, bubur bayi, dan kebutuhan bayi lainnya sehingga pihak panti jarang mengeluarkan biaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bayi-bayi di sini.
Ella menyadari sumbangsihnya dalam mengasuh anak yatim piatu tidak untuk selamanya karena ada panggilan yang mewajibkan ia untuk memenuhinya. Menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya kelak merupakan prioritas pertama setelah berumah tangga. Namun, sebelum panggilan itu datang, Ella tetap setia selama 24 jam bersama bayi-bayi merah yang masih butuh belaian kasih sayang. Jika waktunya telah tiba, Ella tidak akan meninggalkan mereka begitu saja. Ia masih akan menyantuni mereka dengan mengasuh beberapa anak yatim piatu.
Turun ke lantai I panti asuhan ini, ada beberapa anak laki-laki usia SD yang menempati satu ruang besar berisi jajaran tempat tidur susun. Di sana, ada dua wanita dewasa yang sedang membimbing mereka mengerjakan keperluan masing-masing. Satu wanita itu adalah Ria, seorang ibu asuh bagi anak laki-laki yang belum diambil-alih oleh orang tua asuh.
Mimpinya bahwa ia mempunyai seorang anak laki-laki dan diminta untuk merawat anak itu, menjadikan Ria bertanya-tanya akan arti mimpi itu. Kini, sepuluh tahun telah berlalu, mimpi itu telah terjawab. Dengan pengabdiannya di panti ini, inilah jalan untuk merawat "anak laki-laki" dalam mimpinya. Gelar sarjana ekonomi yang disandangnya tidak menyulutkan niat baiknya untuk terjun langsung menangani anak-anak yatim-piatu, khususnya laki-laki di panti ini.
"Saya ingin menjadi akar", begitu Ria mengistilahkan. Akar adalah bagian pohon yang tidak terlihat, tetapi peranannya penting dalam menopang pohon. Seperti akar, lulusan IKIP Bandung Jurusan Akuntansi ini ingin mengantarkan anak-anak asuhnya menuju masa depan yang cerah.
Selama 24 jam waktunya, Ria hidup seatap dengan anak-anak lelakinya. Dalam pengasuhannya, ia memadukan pengetahuan yang dimilikinya dengan pendapat orang lain. Baginya, lima tahun pertama usia anak adalah masa-masa emas (golden age) yang pertumbuhan dan perkembangannya perlu dioptimalkan. Tidak jarang gadis lajang berumur 36 tahun ini berkonsultasi dengan psikiater untuk menanyakan pemecahan masalah anak yang dihadapi. Bertukar pikiran seperti itu juga bisa membantu Ria dalam mengukur tingkat kecerdasan anak untuk mengetahui apakah seorang anak berpotensi meneruskan ke Perguruan Tinggi atau cukup dibekali kursus-kursus.
Untuk menghadirkan sosok ayah bagi anak-anak asuhnya, Ria berperan ganda. Kadang ia sebagai seorang ibu, kadang juga sebagai seorang ayah. Jika menurut Ria, pelanggaran yang dilakukan anak asuhnya melebihi batas, tidak sungkan-sungkan ia memarahi mereka. Namun, gadis berkerudung ini memberi pengertian kepada mereka bahwa marahnya itu sebagai tanda kasih sayang agar mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Ria yang sempat dicibir orang karena mau bekerja di panti dengan imbalan kecil selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi anak asuhnya. Ia selalu mengembangkan kemampuannya demi kemajuan mereka. Di sela-sela doanya, Ria selalu menyelipkan doa agar anak-anak di panti ini dibimbing-Nya, menjadi anak yang berhasil di kemudian hari, dan mampu menghadapi hidup. Ia tidak berharap materi dari anak asuhnya yang sudah berhasil di kemudian hari.
Ria sosok wanita tegar ini tidak punya target kapan mengundurkan diri sebagai pengasuh anak yatim piatu. "Biarlah semuanya berjalan sesuai kehendak Yang Kuasa", katanya dengan senyum. Ria dan Ella adelah pejuang wanita yang tidak hanya bicara harus begini dan harus begitu, tetapi mereka telah ambil bagian dalam mengantarkan anak manusia menemukan jati dirinya.
Hanya sebutir pasir putih yang dapat kami berikan untuk bangsa dan negara (Anonim)
Tanpa dampingannya, sang istri berjuang menghadapi saat-saat kritis melahirkan dua buah hatinya. Justru lelaki ini pernah menunggui seorang ibu yang bukan apa-apanya ketika melahirkan. Ia tuntun si ibu dengan ucapan "Allahu Akbar". Si ibu yang sudah berkondisi lemah menyempatkan untuk menulis pesan di tengah perjuangannya melahirkan si jabang bayi. Bunyi pesan itu adalah "seandainya anak saya tertolong, mohon diurus sebaik-baiknya". Kemudian, ibu itu meminta tanda tangan si lelaki sebagai tanda persetujuan. Sambil dituntun mengucapkan kebesaran Illahi, bayi ibu itu lahir, tetapi saat itu juga si ibu mengembuskan napas terakhir. Yang lebih menyedihkan, ayah si jabang bayi telah mendahului sang istri sebulan sebelumnya. Tinggallah bayi tak berdosa ini sebatang kara.
Cerita di atas bukan fiksi, melainkan nyata dialami oleh seorang insan yang sekarang menggeluti bidang yang jarang diminati orang karena bukan ladang bisnis. PMA (penanaman modal akhirat), itulah yang sedang dijalankan pria ini. Menjadi "bapak" bagi anak yatim piatu di panti asuhan Bayi Sehat adalah pekerjaan sehari-harinya. Cerita di atas menjadi bagian hidupnya sebagai seorang "bapak" bagi anak-anak tak berayah-ibu dan terlantar. Pria bagi banyak anak ini bernama Yanto Mulyadiyanto yang notabene pimpinan panti ini. Sebelum terjun seratus persen di panti ini, Yanto-panggilan akrabnya telah menjadi pengurus semasa profesinya masih menjadi guru SMU. Tahun 1980-an terjadi beberapa kasus kematian bayi yang diasuh di panti ini. Hal ini membuat Bapak yang lahir tanggal 12 Desember 1960 prihatin. Akhirnya ia bernazar, seandainya bayi yang sakit terakhir ini sembuh maka ia akan mengundurkan diri sebagai PNS dan mengabdikan diri secara total di panti ini. Tuhan meloloskan niatan Yanto, bayi tersebut sembuh. Yanto pun menepati nazarnya. Sembuhnya bayi itu yang sekarang sudah membina rumah tangga menjadi tonggak totalitas Yanto dalam menyantuni anak yatim-piatu.
Tahun 1985 dirinya diangkat menjadi ketua panti. Baginya, ia lebih suka dipanggil "bapaknya anak-anak" dibanding "ketua". Oleh anak-anak asuhnya, ia dipanggil "papa". "Anak saya 139", katanya dengan tawa. Bapak dari dua anak ini menganggap 137 anak-anak yang rimba keluarganya tidak diketahui sebagai anaknya juga. Walaupun demikian, si anak asuhnya tidak begitu saja menerimanya sebagai ayah, mereka tetap menanyakan siapa ayah dan ibu mereka sebenarnya. "Masa', ayah banyak anaknya", tiru Yanto tentang kekritisan anak asuhnya. Faisal, seorang anak asuhnya yang sekarang berstatus sebagai mahasiswa ITB hampir drop out dari bangku kuliah gara-gara frustasi ayah-ibunya tidak diketahui. "Percuma saya kuliah karena belum melihat mama-papa", tiru Yanto akan kekesalan Faisal.
Hatinya sebenarnya perih dengan pertanyaan-pertanyaan polos anak asuhnya dan masalah yang dihadapi mereka saat dewasa. Dengan arif dan bijak ia selalu memposisikan dirinya sebagai orang tua yang mengerti dan berusaha memenuhi kebutuhan mereka. Walaupun hal itu sulit diwujudkan karena perhatiannya terbagi dengan banyak anak. Menurut Yanto yang juga menjabat sebagai ketua forum panti-panti di Bandung, mereka iri jika ada temannya yang diperhatikan sedang dirinya tidak. Wajar hal itu terjadi karena mereka haus akan kasih sayang yang tidak pernah mereka dapatkan dari orang yang seharusnya memberikan.
Walaupun ia pimpinan, tetapi Yanto masih mau menangani langsung anak-anak asuhnya. Ia tidak sungkan untuk membantu pengasuh memandikan anak yang belum mandiri. Namun, kala anak asuhnya nakal, ia juga tidak sungkan untuk memberi hukuman. "Mengguyur dengan air paling itu hukumannya", ujar lelaki berkacamata ini. Ia mengaku tidak pernah memberikan hukuman fisik yang berlebihan. Sambil menghukum ia memberikan nasehat. Ketika menasehati, kadang air matanya tak kuasa dibendung. Melihat ayahnya menangis, si anak akhirnya luluh karena mereka tidak ingin melihat orang yang selama ini membesarkannya sedih. Dalam hatinya, Yanto prihatin jika ada anak asuhnya yang melakukan kekhilafan. Ia merasa tanggung-jawabnya besar untuk mendidik mereka agar menjadi anak yang sholeh dan sholehah.
Saat ada bayi yang meninggal dunia, ia juga turun tangan untuk memandikan, mengafani, menyolatkan, sampai menguburkan. Di balik ketegarannya mengantarkan anak asuhnya ke liang lahat, hatinya sedih. Ia bertanya-tanya pada diri sendiri, "salah apa saya" sehingga mereka pergi sebelum mengenyam hidup yang lebih bahagia. Tidak tertolongnya bayi yang sakit membuatnya tidak bisa tidur sampai kadang sakit.
Satu yang dicita-citakan pria kelahiran Bandung ini bahwa ia akan "dijemput" oleh anak-anak asuhnya yang telah meninggalkan dunia ini. Berkaitan dengan hal ini, Yanto pernah mengalami kejadian mistik yang membuatnya semakin yakin bahwa mereka akan menolongnya di alam akhirat. Albar adalah salah satu anak asuhnya yang menderita sakit jantung. Setiap Albar kaget, ia akan menangis, kemudian tubuhnya menjadi biru, lalu tidak sadarkan diri. Pada umur tiga tahun, Albar dengan bantuan donatur dari Amerika dioperasi oleh tim dokter ahli dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita dan Amerika. Namun, jiwanya tidak tertolong. Ada hal yang membuatnya aneh ketika Albar akan dikuburkan. Ia melihat banyak anak kecil turut menghadiri upacara pemakaman. Anak-anak itu bukan anak panti dan tidak dikenal Yanto sebelumnya. Karena penasaran, Yanto bertanya ke anak-anak itu, "ini siapa?". Mereka menjawab "kita teman-temannya Albar, pak". Sesudah liang lahatnya ditutup, Yanto berniat memberikan "uang selamat". Betapa terkejutnya karena anak-anak yang banyak itu lenyap seketika bak ditelan bumi. Akibat kejadian itu, Yanto sempat shock dan sakit keras selama tiga bulan.
Sudah banyak suka-duka yang Yanto rasakan sebagai pengurus di panti ini. Malam yang tenang menjadi saatnya untuk merenungi apa yang telah diperbuat. Ketika anak-anak asuhnya sudah tidur, Yanto sering menangis. Sambil melihat anak-anak asuhnya tertidur pulas, benaknya berucap "apakah saya bisa membesarkan mereka menjadi orang, menjadi anak sholeh dan sholehah, mencapai cita-cita layaknya anak-anak lain yang punya orang tua". Pada kenyataannya, Yanto dan rekan-rekannya berbuat semampu mereka untuk mengantarkan anak asuhnya meraih cita-cita. Di antara anak asuhnya, ada yang sudah menjadi "orang". Yayat adalah satu anak asuh yang sukses bekerja di Bank Indonesia dan telah menikah. Sekarang, sebelas adik pantinya sedang menimba ilmu di PTN di Bandung, seperti ITB, UNPAD, UPI dan IAIN. Menurut Yanto, pihak panti akan membiayai anak asuhnya yang tidak mempunyai orang tua asuh dan bisa memperebutkan PTN. Selain jadi "bapak", Yanto telah menjadi "kakek" bagi lima cucunya.
Sebagai kepala keluarga, Yanto yang lulusan IKIP Bandung ini sadar dirinya sudah milik istri dan anak-anaknya. Namun, dukungan keluarga membuatnya tetap konsisten di jalur menyantuni anak yatim-piatu. Istrinya yang berprofesi sebagai perawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin malah ikut membantu tugasnya. Bersama isterinya, Yanto memberi nama anak-anak yang diasuh di sini. Anak-anaknya pun tidak keberatan ayahnya diakui sebagai ayah anak lain. Jiwa sosial Yanto turun ke dua anaknya. Mereka memiliki sensitivitas ketika melihat ketidakmampuan. Yanto menuturkan ketika kedua anaknya dibelikan sesuatu, sedangkan adik-kakak mereka di panti tidak dibelikan, kedua anaknya akan menolak pemberian itu. "Mendingan mereka tidak memakainya", ujar Yanto terhadap sikap anak kandungnya. Bersama dukungan keluarga dan bantuan orang-orang yang peduli dengan penderitaan anak yatim piatu, Yanto tetap mengembangkan sayapnya menaungi anak asuh.
Kemiskinan tidak selamanya suatu kehinaan, tetapi janganlah bercita-cita untuk miskin apalagi menghinakan diri agar jadi miskin (Ratu Elizabeth I)