Kartu Keluarga Sejahtera, Senjata Pemerintah Digitalisasi Bantuan Sosial
Oleh : Citra Banch Saldy*
COBA hitung berapa kali dalam sebulan Anda pergi ke anjungan tunai mandiri (Automated Teller Machine/ATM)?. Bagi sebagian besar "Orang Kota", bolak balik ATM menjadi sebuah hal yang biasa. Boleh jadi di dalam dompet pun terisi lebih dari satu kartu ATM Bank. ATM jauh lebih praktis. Rasa-rasanya, di era yang serba praktis saat ini sulit membayangkan bagaimana hidup tanpa mesin ATM.
Namun lain halnya dengan yang dirasakan Nur Fadhilah (46). Jangankan memiliki kartu ATM, seperti apa wujud mesin ATM saja ia tidak tahu. Tinggal di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat yang notabene merupakan wilayah yang berbatasan dengan Malaysia menjadikannya "terisolir" dari terpaan kemajuan zaman.
"Saya pikir itu cuma untuk orang-orang kaya saja. Saya tidak tahu fungsinya untuk apa. Kata orang mesinnya bisa keluarin duit, tapi bagaimana caranya saya tidak tahu," ungkap Nur seraya menggendong anak sulungnya, Fitri Astuti (2) saat penyerahan Bantuan Sosial Non Tunai di Kabupaten Mempawah, akhir Maret lalu.
Perasaan tersebut bukan cuma dirasakan Nur Fadhilah, Yunita (48) dan ratusan ribu keluarga penerima manfaat (KPM) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur pun merasakan hal yang serupa. Umumnya merasakan bingung, grogi, dag-dig-dug, lengkap dengan keringat dingin saat berdiri dihadapan mesin ATM. Meskipun disebelahnya telah berdiri karyawan bank yang ikut membimbing menggunakan mesin tersebut.
"Terlalu banyak tombol-tombolnya, saya bingung. Untung tadi ditolongin, kalau tidak uang bansosnya tidak bisa saya ambil," ujar Yunita (48) sewaktu pencairan bansos di Labuan Bajo, NTT, April 2017 lalu.
Istri dari Rohadi (51) ini pun sempat menitikkan air mata lantaran tak kuasa menahan rasa harunya saat menerima Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dari Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa. Baginya, itulah pengalaman pertama memegang yang namanya Kartu Ajaib ATM.
"Saya tidak pernah punya tabungan di bank, tidak pernah juga ke bank apalagi ATM. Sekarang saya punya," ucap Yunita lirih.
Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa mengatakan Nur Fadhilah dan Yunita adalah contoh potret nyata tentang masih rendahnya indeks inklusi keuangan masyarakat Indonesia. Akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan dan produk lembaga-lembaga keuangan di Indonesia masih sangat rendah. Menurutnya, inilah salah satu penyebab tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia pun rendah.
Oleh sebab itu, lanjut Khofifah, Pemerintah melalui Kementerian Sosial melakukan lompatan besar kedepan dengan merubah format penyaluran bantuan sosial yang sebelumnya tunai menjadi non tunai. Untuk menyukseskannya program prioritas nasional tersebut, Kemensos menggandeng Himpunan Bank Negara (Himbara) yang terdiri dari Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN. Zonasi pelayanan diberlakukan agar semua masyarakat bisa terlayani yang disesuaikan dengan infrastruktur perbankan yang dimiliki.
Diterangkan Khofifah, hasil pemetaan sementara saat ini kurang lebih terdapat outlet sebanyak 18.921 unit, EDC sebanyak 551.485 unit, agen bank/e warong sebanyak 137.602 unit, dan ATM sebanyak 60.992. Belum lagi pemanfaatan BNI Layanan Gerak (BLG) berbasis mobil multifungsi maupun Teras Kapal BRI yang melayani wilayah pesisir dan kepulauan Indonesia antara lain, Kepulauan Seribu, Maluku, dan Labuan Bajo-Nusa Tenggara Timur.
"Penjangkauan tidak hanya dilakukan di wilayah perkotaan saja, pemerataan dilakukan hingga wilayah perbatasan dan kepulauan. Kemensos sendiri tengah mengupayakan layanan gerak berbasis sepeda motor roda tiga, kemarin baru diluncurkan di Solo, Jawa Tengah," ungkap Khofifah.
Khofifah sendiri optimistis bahwa bansos non tunai efektif mendorong percepatan kenaikan indeks keuangan inklusif hingga 75 persen di tahun 2019 mendatang. Peningkatan inklusi keuangan terseut didongkrak dari meningkatnya jumlah rekening perbankan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga akhir 2016 lalu tingkat inklusi keuangan menyentuh angka 67,8 persen.
Tidak hanya itu, Khofifah juga yakin skema bansos non tunai mampu mempercepat penanggulangan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan antar individu dan antar daerah. Oleh Bank Dunia, strategi ini diperhitungkan mampu menyumbang penurunan angka kemiskinan nasional sebesar 0,3 persen dalam setahun.
Hampir seluruh penerima bansos, kata Khofifah, belum memiliki rekening perbankan. Dengan mekanisme penyaluran non tunai, maka secara otomatis mereka akan mendapatkan rekening, terhubung dengan industri jasa keuangan, dan bisa mengakses berbagai produk dam layanan perbankan.
"Dengan terkoneksi dengan industri keuangan tentu saja berbagai layanan perbankan bisa diakses. Minimal mereka bisa menabung dan lepas dari jeratan rentenir," tuturnya.
Dijelaskan, tahun 2017 ini jumlah KPM PKH ada sebanyak 6 juta keluarga dan akan ditambah sebanyak 4 juta KPM di tahun 2018 mendatang. Sehingga tahun depan total KPM mencapai 10 juta. Sementara Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang saat ini baru menyasar 1,28 juta, juga akan bertambah menjadi 10 juta KPM.
Khofifah menerangkan, target pembangunan 2018 sebagaimana dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun Anggaran 2018 menetapkan tingkat kemiskinan 9-10 persen, tingkat pengangguran terbuka 5,3 - 5,5 persen pada rasio gini 0,38. Target ditetapkan mengacu kepada jumlah penduduk miskin sesuai survei BPS pada bulan September 2016 yakni sekitar 27,8 juta jiwa.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial (Linjamsos) Kementerian Sosial, Harry Hikmat mengatakan, pada tahun anggaran 2017 Pemerintah mengalokasikan anggaran senilai Rp147 triliun untuk bansos yang masuk dalam tujuh program prioritas nasional. Yaitu, PKH, bantuan pangan non tunai (BPNT), Program Indonesia Pintar (PIP), Program Indonesia Sehat (PIS), dan Subsidi Energi (Listrik, BBM, LPG).
Harry mengatakan integrasi yang dilakukan Pemerintah ini sangat efektif dalam menekan angka kemiskinan. Jika semua bansos dapat terintegrasi, maka setiap KPM akan memperoleh bansos sejumlah Rp750.000/bulan atau memperoleh tambahan sekitar 40 persen dari pengeluaran minimal per bulan (Rp1.850.000).
"Kalau dulu jalan sendiri-sendiri, sekarang semuanya terintegrasi dalam satu kartu yang memiliki banyak fitur. Lebih efektif dan efisien. Tidak perlu mengantre pula," tuturnya.
Sistem Informasi dan Konfirmasi Data
Lantas bagaimana terkait data kemiskinan yang fluktuatif dan sering dianggap tidak valid ? Pemerintah melalui Kementerian Sosial telah berupaya menutupi celah tersebut dengan meluncurkan aplikasi bernama Sistem Informasi dan Konfirmasi Data (Siskada) pada 9 Desember 2016 lalu.
Username dan password diberikan kepada semua Pemerintah Kabupaten/Kota. Harapannya, melalui aplikasi tersebut Pemkab/Pemkot dapat mengonfirmasi data masyarakat miskin secara realtime.
"Apabila ditemukan data pemerintah tidak valid, maka pemda dapat mengkonfirmasi mana salahnya, mana penerima manfaat yang tidak eligible (memenuhi syarat-red)," tutur Khofifah.
Khofifah menyampaikan, konfirmasi ini penting agar pemuktahiran data warga miskin dapat terus berjalan sehingga bantuan sosial (bansos) lebih tepat sasaran. Data yang masuk, lanjutnya, nanti menjadi rujukan untuk memperbaharui data penerima bantuan sosial.
Diungkapkan, apa yang dilakukan Kementerian Sosial, sesuai dengan amanat Undang-undang (UU) 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin yang mengatur bahwa pemuktahiran data dilakukan dengan masyarakat yang secara pro aktif melaporkan ke desa dan lurah.
Selanjutnya, dibahas dan diputuskan dalam musyawarah desa atau musyawarah kelurahan yang kemudian diteruskan ke camat, bupati/walikota, gubernur dan terakhir ke menteri yang menyelenggarakan urusan bidang sosial.
Oleh karena itu, pemerintah daerah harus lebih proaktif mengkonfirmasi data keluarga penerima manfaat (KPM) bantuan sosial (bansos) yang digelontorkan pemerintah. Dengan Siskada, proses pembaharuan data kemiskinan di daerah menjadi lebih cepat, sehingga meminimalisir bansos tersebut diterima oleh mereka yang tidak berhak.
Menurut Khofifah, jika bantuan sosial diberikan tepat sasaran maka akan lebih signifikan terhadap penurunan kemiskinan dan rasio gini .
"Ada proses cek dan kroscek antara pemerintah pusat dan daerah. Jadi kalau salah, bisa langsung diketahui dan tidak berulang," ujarnya.
Dongkrak Indeks Pembangunan Manusia
Efektifitas Program Keluarga Harapan (PKH) juga dapat dilihat dari ikut terdongraknya indeks pembangunan manusia (IPM). Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) April 2017, IPM Indonesia tahun 2016 mencapai 70,18. Angka ini meningkat sebesar 0,63 poin dibandingkan dengan IPM tahun 2015 yang hanya sebesar 69,55. Demikian pula dengan status pembangunan di Indonesia yang meningkat dari status sedang menjadi tinggi. IPM Indonesia pada tahun 2016 tumbuh sebesar 0,91 persen dibandingkan tahun 2015.
"Komplementaritas Bansos PKH dengan bantuan sosial dan program subsidi lainnya berdampak signifikan dalam percepatan penanganan kemiskinan di Indonesia," kata Khofifah.
Ia memaparkan, komponen pembentuk IPM juga mengalami peningkatan. Bayi yang baru lahir memilki peluang untuk hidup hingga 70,9 tahun atau meningkat 0,12 tahun dibandingkan tahun 2015 lalu. Tidak hanya itu, lanjutnya, anak-anak usia 7 tahun juga memiliki peluang untuk bersekolah selama 12,72 tahun atau meningkat 0,17 tahun dibandingkan tahun sebelumnya.
"Intervensi yang dilakukan PKH sejak anak masih dalam kandungan, dimana selama kehamilan sang ibu wajib melakukan pemeriksaan kehamilan di fasilitas kesehatan. Ini untuk mencegah bayi tidak normal atau kematian bayi. Alhamdulillah cara ini mampu mengkatrol peluang hidup bayi," terangnya.
Di bidang pendidikan, lanjut Khofifah, anak KPM PKH wajib untuk bersekolah di berbagai level pendidikan, dari SD hingga SMA/SMK. Persyaratan tersebut wajib dilaksanakan secara konsisten guna keberlanjutan memperoleh bantuan.
Sebelumnya, PKH juga dianggap turut berkontribusi besar dalam penurunan angka kemiskinan. Kembali merujuk data BPS, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) mencapai 27,76 juta orang (10,70 persen), atau berkurang sebesar 750.000 orang dibandingkan dengan kondisi september 2015 sebesar 28,51 juta orang (11,13 persen). Presentase penduduk miskin di perkotaan turun menjadi 7,73 persen, sementara di wilayah perdesaan juga turun menjadi 13,96 persen.
"Ratusan ribu keluarga yang telah lepas dari status miskin tersebut, oleh Pemerintah dirujuk ke program pemberdayaan lainnya," imbuhnya. (***)
* Penulis adalah Tenaga Humas Pemerintah di Kementerian Sosial RI.